Ghibah Yang Diperbolehkan

Menurut imam Nawawi rahimahullah ada 6 ghibah yg diperbolehkan :
1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”

2- Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”

3- Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”

4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.

5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.

6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)

Awas Media Manipulator!

Sekarang di sektor komunikasi, khususnya media online, terdapat orang2 bayaran (professional communicator) yang kerjaannya membuat berita dengan memalsukan fakta dan meme2 pendukung. Mereka dibayar untuk memproduksi pesan supaya mendistorsi dan memanipulasi informasi yg ada di masyarakat agar menciptakan opini publik bahkan gerakan politik sesuai pesanan aktor politik yg berkepentingan di belakang layar. Bahkan ditengarai dana asingpun banyak mengalir utk menciptakan keadaan tertentu sesuai kepentingan mereka.

Fakta2 palsu pesanan politik itu kemudian diberitakan serentak dan terus menerus di beberapa media online abal abal jaringan mereka, kemudian dishare oleh para buzzer yg sudah disiapkan sbg pasukan siber.

Di AMerika Serikat komunikator profesional dibayar untuk bikin media abal2 di internet untuk dishare dan dibenarkan oleh teman2 buzzernya sudah cukup lama. Ryan Holiday menulis pengakuannya dlm buku “Trust me I am lying, The confession of an media manipulator” (2012).

Pengalaman Ryan inilah yg kemudian dicontoh dan dikembangkan di Indonesia. Sekarang media dan akun abal2 jadi marak, membiaskan informasi di media sosial.

Di masyarakat kita berita palsu yg sensasional, beserta meme buatan itu justru dianggap menarik dan disukai. Banyak warga masyarakat tdk peduli asal, sumber, kualitas apalagi kebenaran informasi yg mereka terima. Mereka yg punya sikap tdk kritis bahkan gemar ikut menyebarkan dan menganggap info2 palsu itu A1. Sehingga informasi2 buruk yg tdk benar tersebut akan menjadi words of mouth yg laris disebarkan.

Terjadilah Ten Ninety Communication, komunikasi 10 : 90. Dimana hasil penyebaran komunikasi itu, justru 90% dilakukan suka rela oleh masyarakat yg suka pd informasi palsu itu. Sedang pelaku komunikasi politik yg sesungguhnya hanya melakukan 10% saja. Tapi hasilnya bisa menjadi kekuatan besar karena didukung “ketidaktahuan” masyarakat yg ikut menyebarkannya. Lewat mass self communication, informasi palsu itu tersebar, bahkan juga dikonfirmasi atau diperkuat oleh media2 abal abal lain yg memiliki misi senada.

Hasilnya banyak informasi palsu dianggap sebagai kebenaran oleh publik. Saat informasi itu makin banyak dishare dan dibahas, maka orang2 yg tdk sependapat, atau kritis pd kasus2 cenderung diam, krn menghindari “keributan”. Lama2 suara yg membenarkan informasi palsu tersebut bisa mendominasi media sosial. Karena mereka yg tdk setuju cenderung makin diam (silent). Mereka khawatir sdg menghadapi “suara mayoritas” (padahal tdk, itu hanya persepsi). Disitulah kemudian informasi palsu tersebut, tak hanya dianggap sbg suara mayoritas, tp juga menjadi nilai2 yg meresap dan mempengaruhi sikap politik.

Itulah kekuatan propaganda komunikasi lewat media sosial yg menciptakan Spiral of Silence. Kurban2nya tdk sadar krn bnyk yg isi propaganda tersebut sesuai dg predisposisi atau kecenderungan sikap mereka sebelum diterpa informasi palsu itu.

Idealnya, memang harus ada counter propaganda yg mengungkap fakta2. Sayangnya gerakan kebaikan sering “kalah” dengan yg negatif. Maka salah satu cara menangkalnya adalah, dengan tidak membiarkan kita menjadi korban propaganda politik yg akan memporak porandakan negeri ini. Saatnya setiap memperoleh informasi negatif, dicheck dulu siapa sumbernya? Terpercaya atau tidak? Kemudian dicheck isinya logis apa tdk? Apa isinya berbasis suudzon atau khusnudzon? Kalau justru mudzarotnya lbh banyak, sebaiknya tdk usah kita ikut2 ngeshare informasi yg isi dan sumbernya tdk jelas. Kecuali kita sendiri mmg bagian dari orang2 yg mengharapkan kekacuan dan kehancuran negeri ini. Tp apakah niat kita seburuk itu? Saya yakin tidak.

Henry Subiakto
Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga

26 November 2016

Kantor Atau Masjid?

Copas

KENAPA TIDAK DISHOLATKAN DI KANTOR..?”

Assalaamu’alaikum

Sebelum subuh sudah berangkat ke kantor…,
Setelah isya baru kembali dari kantor…
Dzuhur… terjepit waktu istirahat kantor…,
Ashar… pekerjaan banyak sekali di kantor…,
Maghrib.. tanggung dijalan, perjalanan pulang dari kantor…,
Isya… masih capek, baru pulang dari kantor…,

Malam-malam ditelpon untuk datang ke kantor…. malah segera berangkat..!!

Disaat pensiun…
Hanya memiliki rumah sederhana.. bukan istana…
Mobil tua yg perawatannyapun mahal…
Uang pesangon yg sudah habis atau uang pensiun hanya cukup untuk makan…

Walaupun bisa memiliki rumah lebih mewah, tubuh lemah dan sakit sudah tidak bisa menikmati indahnya rumah..
Hari-hari hanya merasakan rasa sakit…

Puluhan tahun kerja banting tulang…
Setelah rumah, mobil dimiliki… hartapun habis untuk berobat..

Berat untuk sholat karena semua sendi sudah tidak kuat…
Ditambah masa muda sibuk kerja hingga tak terbiasa sholat…

Mati-matian membela kantor atas perintah atasan… Sampai-sampai malas ke masjid…

Tapi disaat tua.., lemah.., dan wafat…
Jasadpun meminta disholatkan di masjid..
dengan Ustadz sebagai Imamnya.., bukan anaknya yang menjadi Imam…

Mati-matian membela kantor…
Tak seorangpun mati disholatkan dikantor dengan atasannya sebagai Imam sholat jenazah…
Tidak pernah pernah terjadi…

Jadi…
Masihkah kita mengutamakan KANTOR daripada MASJID..?

Padahal..
MASJID adalah tempat terakhir kita… DISHOLATKAN.

Copas 2

Seusai Sholat Shubuh aku dikejutkan oleh Bunda “Ari, Nenek kamu masuk Rumah Sakit. Bunda harus datang melihatnya“

Kulihat wajah bunda nampak sedih. Tentu aku harus mendampingi bunda, karena tempat tinggal nenek tidak di Jakarta tapi Sumatera. Sementara aku hampir tidak mungkin meninggalkan kesibukanku di Jakata, Apalagi mitra bisnisku dari luar negeri sedang ada di Jakarta untuk menjajaki kerjasama pembelian produksi pabrikku. kulihat Bunda sedang sibuk mengemas pakaiannya di kamar. “Bunda, apa enggak bisa berangkatnya lusa aja” kataku dengan lembut.

“Bunda enggak mau ganggu kamu, bunda bisa pergi sendiri kok, antar saja Bunda ke Bandara ya” kata bunda sambil memasukan pakaiannya kedalam koper.

“Baru minggu lalu bunda ke Dokter dan sekarang masih harus istirahat“ Kataku dengan tetap lembut sambil memegang tas kopernya untuk mencoba menahannya pergi. “Lusa aja ya, aku temanin“

“Tidak !!! “ mata Bunda melotot. Kalau sudah begini aku hanya bisa menghela napas panjang. Sepeti biasanya aku harus mengalah untuk mengikuti kata Bunda. Istriku juga punya sifat sama denganku untuk mengikuti kehendak Bunda“

“Baiklah, kita pergi sam-sama”. Seperti biasanya pula Bunda tersenyum cerah, dia memelukku.

Didalam pesawat aku menuju kota kelahiran ayahku, lamunanku terbang kemasa kanak kanaku. ………………..

Dalam usia 5 tahun, aku sudah yatim. Karena ayah meninggal akibat sakit.

Menurut cerita Bunda, ketika Ayah meninggal status ayah masih mahasiswa di Yogya. Bunda bukanlah dari keluarga kaya.
Bunda juga seorang Yatim, beda dengan Ayah yang terlahir dari keluarga Pajabat tinggi di Sumatera.

Sehingga walau Ayah berstatus mahasiswa namun kiriman uang dari orang tuanya masih cukup untuk menanggung hidupnya berkeluarga. Ayah sengaja merahasiakan perkawinan itu kepada keluarga besarnya. Namun dua tahun setelah ayah meninggal, bunda datang ke keluarga ayah sambil membawaku.
Aku masih ingat ketika itu usiaku 7 tahun.

Aku tidak begitu ingat persis bagaimana suasana ketika Bunda memperkenalkan dirinya sebagai menantu dan aku sebagai cucu kepada kakek dan nenekku.

Yang aku tahu setiap tahun bunda selalu membawaku kerumah kakek dan nenek. Setiap tahun, setiap lebaran, Bunda mengajakku pergi kerumah kakek dan nenek. Dengan berlelah lelah naik bus melewati pulau Jawa dan Sumatera untuk sampai.

Tak pernah aku antusias datang ke rumah kekek dan nenek. Sebagai anak kecil aku tahu bahwa kakek nenek tidak pernah hangat dengan kehadiranku dan Bunda.

Beda sekali dengan perlakuannya kepada saudara sepupuku yang lain, seperti Adi, Rini, Bobi, Anto, Dedi. Setiap lebaran, kulihat para sepupuku datang dari Jakarta, Bandung, Surabaya dengan pakaian bagus.

Beda sekali denganku. Bila semua Istri Om sibuk berdandan di kamar atau bermalasan di taman belakang rumah kakek yang luas itu, Bunda malah sibuk di dapur memasak , seperti pembantu.

Ayahku adalah anak tertua diantara empat bersaudara. Semua saudara ayah laki laki. Tidak ada perempuan.

Istri Om semua memang cantik-cantik. Menurut yang kutahu dari nenek, yang selalu diulang-ulang dihadapan Bunda, bahwa semua Istri Om dari kalangan keluarga terhormat. Seakan merendahkan keberadaan Bunda. Tapi kulihat Bunda tak pernah tersinggung.

Selama membesarkan ku, Bunda tak pernah mendapat bantuan satu senpun dari keluarga Ayah. Juga Bunda tidak pernah memohon bantuan dari mereka.

Bunda bekerja keras di perusahaan Swasta sebagai tenaga administrasi. Bundapun tak pernah terpikir untuk menikah kembali. Ketika aku sudah remaja, aku sudah bisa beralasan bila Bunda mengajakku lebaran di rumah kakek.

“aku males ke rumah kakek dan nenek. Mereka enggak sayang sama aku. Kenapa kita harus ke rumah mereka?“

Demikian alasanku. Tapi Bunda dengan segala sifatnya yang keras memaksaku untuk ikut. akupun tak berdaya.

Ketika aku tamat SMU, aku tidak kuliah. Aku memilih bekerja di bengkel.

“Saya tak ada uang untuk mengirim Ari ke universtas, Yah”. Demikian kata ibu kepada kakek ketika menanyakan mengapa aku tidak kuliah.

Kakek dan nenek nampak tersenyum sinis ketika mengetahui keadaanku.

Tahun-tahun berikutnya ketika lebaran. Kakek dengan kebanggaannya bercerita tetang sepupuku yang berangkat ke luar negeri untuk kuliah. Ada juga yang masuk perguruan tinggi swasta bergengsi di Jakarta. Aku maklum karena Om ku semua mempunyai posisi sebagai Pejabat dan ada juga yang jadi pengusaha.

Aku dan Bunda hanya diam mendengar cerita itu. Tapi, tak pernah mengurangi niat Bunda untuk datang ke rumah kakek dan nenek. Dan aku semakin bosan dengan sikap keluarga ayahku.

Yang pasti bi idznillaah, izin Allaah SWT ditambah kerja kerasku, aku bisa menanggung Bunda dan Bunda tak perlu lagi berkerja keras.

Berjalannya waktu, yang tadinya aku sebagai pekerja bengkel, akupun sudah bisa mandiri dengan membuka usaha bengkel sendiri.

Lambat laun, aku mendapat mitra untuk membuat komponen bodi kendaraan sebagai pemasok pabrikan otomotif. Usaha ini ku geluti dengan kerja keras siang malam dan akhirnya berkembang. Ini semua tidak bisa dilepaskan peran Bunda yang tak henti mendoa’ kan ku.

Akupun dapat hidup mapan. Namun, kewajiban setiap lebaran datang berkunjung ke rumah kakek nenek tetap saja dilakukan oleh Bunda dan aku harus ikut.

Tapi belakangan keluarga yang berkumpul di rumah kakek dan nenek tidak lagi utuh. Yang lain hanya menelphone mengucapkan selamat lebaran kepada kakek dan nenek. Sepupuku pun tak semua datang. Mereka bersikap sama dengan orang tuanya, mengucapkan selamat lebaran via SMS, telpon atau WA. Tapi kakek dan nenek tetap bangga dengan mereka.

Aku tak pernah cerita tentang keadaanku karena kakek dan nenek tak pernah bertanya tentangku. Walaupun mereka tahu aku dan Bunda tidak lagi datang dengan bus tapi menggunakan pesawat terbang.
………

Tak terasa roda pesawat sudah menyentuh landasan. Kulihat Bunda tersentak dari tidur lelapnya. Dia melirik kearahku dan entah kenapa dia menciumku keningku. ”Ada apa Bunda ?“ tanyaku dengan tesenyum

“Bunda ingat akan ayahmu”. Bunda nampak berlinang air mata. Aku hanya diam “Ayahmu pria yang sangat baik. Sangat baik”. Dia pria yang Sholeh. Ayahmu berencana bila dia selesai kuliah dan dapat pekerjaan maka dia akan membawa Bunda dan kamu ke keluarga besarnya.

Bunda tahu kok, Ayahmu dalam posisi lemah ketika melamar Bunda. Di samping itu dia sadar karena pilihannya kepada bunda membuat dia berbeda dengan Ayahnya.

Ayahmu mencintai bunda karena dia lebih mencintai Allaah dari apapun” Sambung Bunda.

“Maksud Bunda apa?”

“Ayahmu memilih Bunda karena Agama”. Dia tidak melihat Bunda karena kecantikan, karena keturunan orang kaya, karena apa-apa. Dihadapan Ayahmu, Bunda adalah muslimah yang baik, yang miskin. Dan itu pasti akan ditentang habis oleh keluarganya”

Air mata Bunda berlinang dan akhirnya air mata itu jatuh membasahi pipinya“

“kamu adalah putra ayahmu”. Anak yang berbakti, Sholeh dan pekerja keras. “Benarlah kalau niat baik karena Allaah maka yang akan datang juga kebaikan“

Aku terdiam. Ada yang mengganjal dalam pikiranku. Ini momen yang tepat untuk bertanya …

“Kenapa Bunda selalu menaruh hormat kepada kakek dan nenek.
Padahal mereka sangat acuh dan tidak peduli dengan kita”

Bunda menatapku dengan tersenyum

“Ketika Ayahmu pulang ke Sumatera dalam keadaan sakit, dia berpesan kepada Bunda , bila dia meninggal agar Bunda menjalin silahturahim dengan keluarganya dan mendidik mu untuk dekat kepada kedua orang tuanya”

Bunda terdiam sebentar sambil mengusap airmatanya. “Kamu tahu, setelah Ayahmu meninggal, butuh dua tahun Bunda untuk mengambil keputusan untuk bertemu dengan kakek dan nenekmu.

Walau karena itu tidak ada rasa hormat kepada Bunda, dan Bunda juga menyaksikan betapa kamu tidak diperlakukan sama seperti cucu yang lain, tapi Bunda ingat kata kata Ayahmu
“Cintailah sesuatu karena karena Allah. Tak penting rasa hormat dan imbalan dari manusia,
ya kan, anakku”

“Ya, Bunda” Terlontar begitu saja dari mulutku.

Entah kenapa kedatangan ku bersama Bunda kali ini disambut dengan air mata berlinang oleh kakek.

Dia peluk aku ketika sampai di kamar nenek dirawat.
Yang datang menjenguk hanya “aku dan Ibu”. Sementara Om dan sepupuku tidak ada yang datang. Kulihat nenek dalam keadaan tertidur.

Dari kakek kutahu bahwa nenek terkena stroke tapi keadaanya cepat tertolong. Mungkin setelah itu nenek akan lumpuh. Kakek mengajakku keluar dari ruangan. Kami bicara di taman Rumah sakit.

“Dua tahun lalu Om mu yang pejabat di Jakarta, terkena kasus Korupsi. Dia dalam pemeriksaan oleh aparat yang berwajib”.

Sebelumnya Om mu yang di Surabaya perusahaannya disita oleh Bank karena bankrut.

Om kamu yang di Bandung bercerai dengan istrinya karena soal perselingkuhan dan akhirnya terkena PHK sebagai PNS.

Semua anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang liar. Kuliah tidak selesai, dan terjebak dalam pergaulan bebas.

“aku terkejut, karena baru kali ini aku tahu” Mungkin karena hubunganku dengan keluarga ayahku tidak begitu dekat maka tak banyak kutahu soal mereka.

“Kakek tahu bahwa nenekmu punya penyakit darah tinggi dan jantung”

Makanya kakek berusaha menyimpan rapat rahasia tentang Om kamu yang tersangkut kasus karupsi.

“Tapi kemarin, ada yang memberi tahu bahwa Om kamu sudah di vonis penjara enam tahun atas tindakan korupsinya. Seketika itu pula nenekmu jatuh pingsan…”

Aku hanya diam untuk menjadi pendengar yang baik.

“Ari, kami tahu bahwa selama ini perlakuan kami kepada kamu dan ibu mu kurang baik”

Bahkan kami biarkan ibu mu menderita membesarkan kamu, membesarkan anak dari putra sulung kami, cucu kami.

Kami menyesal karena sikap kami selama ini. Belakangan ini, nenekmu selalu menyebut nama kamu……setiap dia menyebut namamu, seketika itu juga dia menangis.

Kini dimasa tua kami, kami resah karena tak tahu siapa yang akan mengurus kami.

“Nenekmu mungkin setelah ini akan lumpuh. Kakek sudah uzur dan lemah…”

Ku genggam tangan kakek.

“Aku yang akan merawat kakek dan nenek” Izinkan aku untuk membawa kakek dan nenek ke Jakarta, tinggal bersamaku. “Beri kesempatan aku untuk berbakti kepada kakek dan nenek, ya kek“

Seketika itu juga kakek memelukku erat.

Terasa pundakku basah, “aku tahu kakek menangis” Harta yang ada jual saja lah kek. Untuk bantu Om dan Adik-adiknya.

“Dalam situasi ini tentu mereka sangat membutuhkannya. Dan sisanya kakek sedekahkan untuk Panti asuhan agar kakek punya bekal ke akhirat, setuju kan kek.” kataku.

Kakek semakin erat pelukannya. “Maha suci Allaah SWT, sifatmu tak jauh beda dengan Ayahmu, yang begitu bijak menyikapi kami”

Bertahun-tahun aku di didik oleh Bunda untuk memahami makna cinta.

“Bahwa Cinta adalah tindakan memberi karena Allah”, bukan mengharap balasan dari manusia.

akupun harus memahami hakikat cinta dalam kehidupan ini, termasuk menggantikan posisi ayahku untuk berbakti kepada kakek dan nenek, orangtua ayahku.
……

Bunda nampak bahagia sekali ketika melihatku mendorong kursi roda Nenek menuju tangga pesawat dengan di samping kakek yang berjalan sambil memegang lenganku. kami semua ke Jakarta.

………

Ya Allah, semoga kami meninggal dalam keadaan sebagai insan yang Engkau cintai, Husnul Khootimah dan mendapat Syafaa’at yang agung dari Baginda Yang Mulia Habiibunaa Rasuulillaah Muhammad SAW.
Aamiin….yra.⁠

Copas

Copas

Seorang kawan saya beragama Nasrani pernah bertanya kepada saya mengapa umat Islam sering mengatakan umat beragama selain Islam sebagai orang kafir. Pertanyaan yang sama pernah pula ditanyakan oleh keluarga dari ibu mertua saya yang sebagian besar beragama Kristen. Menurut mereka, penggunaan istilah kafir sangat menyinggung perasaan mereka. Terkesan tidak menghargai dan menghormati umat beragama lain. Penyebutan kafir sebaiknya tidak dilakukan oleh mereka yang menghargai kebhinekaan dan kerukunan umat beragama di negeri ini.

Saya balik bertanya kepada mereka, mengapa mereka menganggap kata kafir sebagai kata yang bisa melukai hati mereka. Mereka berpendapat, kata kafir bekonotasi buruk. Ini adalah bentuk penghinaan, pelecehan dan penodaan terhadap pemeluk agama lain. Tak ubahnya seperti menuduh orang lain tidak beragama atau tidak mengenal Tuhan. Padahal mereka meyakini adanya Tuhan seperti halnya umat Islam. Menurut mereka, kata ini mestinya tidak boleh dipakai untuk melabeli orang lain.

Saya yakin, apa yang mereka rasakan ini juga dirasakan oleh sebagian besar umat beragama lain. Bahkan di kalangan umat Islam sendiri ada yang juga beranggapan sama, menganggap kata kafir sebagai kata yang sebaiknya tidak usah dipergunakan untuk menyebut umat beragama lain.

Tapi, apakah benar demikian, bahwa kata kafir itu identik dengan penghinaan, olok-olok dan segala hal berbau intoleransi beragama ?

Tidak. Sama sekali tidak.

Kata kafir sebenarnya bersifat netral. Tidak berkonotasi negative atau positive. Kata ini berasal dari bahasa Arab “kufur” yang artinya “menutup”. Pada masa sebelum Islam, istilah kufur digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, yang kemudian menutupnya (kufur) dengan tanah. Oleh sebab itulah petani disebut juga sebagai “kuffar” (bentuk jamak dari kafir).

Dalam bahasa Inggris kita juga mengenal istilah yang hampir sama. “Cover” yang artinya antara lain menutupi, tutup, sampul dan lain sebagainya. Nampaknya kata “cover” memang berasal dari akar kata yang sama, bahasa Arab yang artinya menutup.

Dalam perkembangannya, khususnya dalam terminology Islam, orang disebut “kafir” apabila orang itu menutup dari kebenaran ajaran Islam. Orang ini mengingkari Allah subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan-Nya.

Dari definisi ini jelas, bahwa kafir bukan suatu kata yang dimaksudkan untuk menghina atau melecehkan agama apapun, baik secara eksplisit maupun implisit. Tidak ada kaitannya dengan menuduh orang lain tidak beragama atau tidak berTuhan. Apalagi dikait-kaitkan dengan upaya memecah belah bangsa.

Kata ini adalah sekedar istilah atau definisi yang dipergunakan khusus dalam terminology ajaran Islam, untuk membedakan antara orang beragama Islam dengan yang bukan beragama Islam. Mereka yang beragama lain pada kenyataannya memang mempunyai keyakinan tersendiri tentang siapa Tuhan yang mereka sembah, yang tentu saja berbeda dengan Tuhan yang diyakini dan disembah oleh umat Islam. Mereka juga tidak meyakini Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan dan Rasul terakhir yang diturunkan di Bumi. Sangat wajar dari sudut pandang ajaran Islam mereka ini disebut sebagai orang kafir atau orang yang tidak beragama Islam. Dan dari sudut pandang keyakinan mereka sebagai umat beragama lain, ketidakpercayaan mereka kepada Tuhan dan Nabinya umat Islam adalah hal yang baik-baik saja. Bahkan wajib mereka pegang teguh.

Lain halnya kalau penggunaan kata kafir itu ditujukan kepada sesama umat Islam. Ketika ada orang Islam disebut sebagai kafir, bisa dipastikan orang itu akan bereaksi marah dan tidak terima dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Karena sebutan kafir kepada sesama Muslim menunjukkan bahwa orang tersebut sudah tidak pantas disebut sebagai Muslim. Ia dianggap telah menolak kebenaran ajaran Islam, walaupun mengaku beragama Islam. Kalau ia marah dan tersinggung sangat wajar sekali. Penyebutan kafir kepada sesama umat Islam secara sembarangan tanpa dasar bisa dikategorikan sebagai bentuk penghinaan, pelecehan bahkan fitnah apabila ternyata yang dituduhkan tidak terbukti. Bahkan menuduh sesama Muslim sebagai kafir termasuk perbuatan dosa.

“Bila seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh akan kembali ucapan itu kepada salah satu dari keduanya” (HR Bukhari VII/97 dari Abi Hurairah)

“Barangsiapa yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti membunuhnya dan barang siapa yang menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.” (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin Dhihah).

Bisa disimpulkan bahwa ketika umat Islam mengistilahkan orang beragama lain sebagai kafir, itu adalah pengistilahan yang biasa saja, tidak perlu disikapi sebagai sebuah penghinaan. Karena memang tidak ada unsur penghinaan sama sekali di situ. Tidak ada unsur memecah belah bangsa sedikitpun. Ini sekedar penamaan atau istilah yang memang dipergunakan dalam terminology Islam. Bahkan Al-Quran sampai membahasnya khusus di surat yang diberi nama Al-Kafirun. Di surat Al-Kafirun tidak ada sama sekali pelecehan atau penghinaan terhadap orang kafir. Bahkan dengan sangat indah sekali dijelaskan bahwa antara orang Islam dan orang kafir (orang beragama selain Islam) harus saling menghormati, tidak boleh saling memaksakan keyakinan. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Tidak ada paksaan dalam beragama.

1. Katakanlah: Hai orang-orang kafir (orang yang beragama selain Islam, orang-orang yang tidak mengakui Allah subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan-Nya).
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah
4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah
6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku

Sehingga kalau ada orang yang beranggapan bahwa orang Islam yang menyebut umat beragama lain sebagai kafir identik dengan menghina, melecehkan dan menodai kerukunan umat beragama, maka hanya ada 2 kemungkinan mengapa orang itu beranggapan demikian .

Kemungkinan pertama, karena ia memang hobby berburuk sangka kepada ajaran Islam dan pengikutnya. Ia tidak mau tahu apa arti kata kafir yang sebenarnya. Walaupun sudah dijelaskan sejelas-jelasnya, baginya kata kafir adalah kata yang hina yang akan memecah belah bangsa, yang harus dihapus. Tidak boleh kata itu dipakai untuk mengistilahkan umat beragama lain. Kebenciannya terhadap umat Islam dan ajaran Islam telah menutup mata hatinya. Baginya, umat Islam atau siapapun yang menggunakan kata-kata kafir adalah manusia yang bodoh, kasar, radikal, intoleran, rasis, penebar kebencian, bigot, dan pemecah belah bangsa

Sedangkan kemungkinan kedua, karena ia sesungguhnya belum mengerti sama sekali arti kata kafir. Ia tidak mengetahui dari mana asal usul kata kafir bermula. Ia sudah terlanjur terkontaminasi oleh pendapat orang lain yang sebenarnya tidak mengerti tentang ajaran Islam. Ia pikir kata kafir adalah kosakata bahasa Indonesia yang artinya sangat kasar, menyakitkan, berbau penghinaan, yang tidak pantas diucapkan oleh orang yang beradab. Ia pikir kalau orang disebut kafir berarti orang itu dituduh tidak mempercayai adanya Tuhan, tidak beragama, dan jahat. Padahal tidak demikian arti kata kafir yang sebenarnya. Ketika diberi tahu arti yang sebenarnya, ia mau menerima penjelasan itu dan mau menghormati apa yang memang sudah menjadi bagian dari keyakinan umat Islam tersebut.